Masuk SMK Multimedia? Yok Diskusi Sebelum Terlambat



Bayangkan jurusan lo nggak nyuruh bikin lima rumah dalam sebulan di semester pertama kelas sepuluh. Can't relate.

Nggak nyangka, tiga tahun lalu gue yang nyari-nyari blog pengalaman orang di jurusan Multimedia, sekarang gue yang duduk manis mengetikkan kata-katanya. Peringatan di awal, gue akan lebih dominan menjabarkan unsur psikologis sebagai murid secara "subjektif", ketimbang ngobrolin pelajarannya. Entahlah itu tentang desain, coding, fotografi, ngedit, gambar, dan lain-lain. Bahasan teknis sudah banyak ditulis, tapi sejak dulu gue belum pernah menemukan yang curhat masalah mental.
 
Baru awal masuk, Multimedia (disingkat MM) membuat gue seperti makhluk nggak lebih berguna dari spesies sup primordial. Gue mungkin sudah babak belur atau mati muda tanpa adanya dia, dan si kakak kelas membantu.

Ah, kenapa ketikannya jadi fiksi drama gini? Yep, selama berbulan-bulan awal, kami hampir tak pernah absen dari acara di mana sekelas bolak-balik aplikasi chatting demi memastikan apa yang kami kerjakan nggak salah, nggak terkecuali bertanya pada kakak kelas. Lo tahu tekanannya di mana? Deadline, tentu saja.

Dari awal masuk, kalian akan diperkenalkan dengan kosa kata terkutuk itu. Bahkan, yang sejak SD dan SMP menyebut pekerjaan rumah sebagai PR, mulai detik ini akan lebih terbiasa menyebutnya "projek".

Bagi murid MM, benda sakti bernama laptop sudah seperti organ tubuh sendiri. Bahkan, andai turun ke lab dan itu laptop nggak sengaja kepentok tiang atau apa, yang ter-"aw" malah mulut sendiri. Begadang pun sudah menjadi tradisi kenormalan--kami ini versi ciliknya Arsitektur gitu. Sampai-sampai, lelucon segaring "MM tawuran pakai kabel charger dan hardisk" nggak terelakan di kelas.
 
So many wrongs with this image.
 
Kami pun distereotipekan sebagai kumpulan introvert dan wibu dibanding jurusan bisnis yang jelas-jelas berimej kece di sebelahnya. Bilanglah lo sudah mantap ingin ambil jurusan ini setelah lulus SMP, selain siap mental, menyiapkan dompet tebal juga penting. Gilanya, bukan hanya untuk laptop ber-speck tinggi, melainkan juga iuran kas sana-sini--yang sejujurnya, menurut gue acara senang-senang sekolah itu nggak penting-penting amat. Malah nambah stress, mengingat tuntutan tugas jurusan yang sudah segunung sejak minggu pertama.
 
Karena fifty-fifty termasuk rumpun teknik dan seni, jurusan ini dimayoritasi manusia berbatang. Kaum hawa sekelas gue bahkan bisa bikin girlgroup kembaran Monsta X, alias hanya bertujuh. Lo gampang jadi cewek tercantik di kelas (kalau teman-teman cewek lo lagi keluar jajan, gitu kan), tapi lo sulit jadi yang terganteng, kecuali tampang lo mirip Shawn Mandes (yang ini beneran ada di sekolah gue).

Berteman dan berprojek di jurusan ini bagi gue secara personal, terbilang tekanan tumpang tindih. Nggak punya kawan, nggak ada tempat bertanya. Kalau hanya sibuk seru-seruan, tugas malah keteteran. Bagi anak Perkantoran, Akuntansi, Pemasaran, Jasa Boga, dan lain sebagainya , gue bisa lihat ada toleransi ngobrolin hal bisnis yang sepadan. Lah kami? Kemungkinan bertanya jurusan lain mengenai topik yang hanya masuk lingkaran MM itu minim kalau bukan ke RPL, TKJ, Animasi, dan kerabat IT lainnya.

Masalah internal, nggak semua kawan lo memang bercita-cita masuk MM. Lo harus siap dengan segala kemungkinan, alias murid yang masuk karena "keterpaksaan". Entah itu terpaksa karena nilainya hanya muat di SMK, atau tetek bengek lain sebagainya. Memang, akan ada beberapa yang ambis dan minat banget tiap mendiskusikan komputer (sampe ngerti build PC dan dewa painting di Photoshop pake mouse!) Namun ada pula yang hanya petantang-petenteng sibuk gibah, nge-game, pacaran, ketawa-ketiwi di dunia nyata dan medsos. Mereka bukan hanya susah dijadikan teman belajar, tapi bikin mumet kewarasan jiwa. Terlebih ketika tergabung dalam suatu projek berbentuk kerja kelompok.

Eits, kemungkinannya bukan hanya segitu jenis manusia yang akan lo hadapi. Namanya jurusan seni, sedewa apa pun keahlian lo, nggak akan terlepas dari yang namanya perseteruan bakat. Saling nyimpen perasaan iri, mau nyontek pun tekniknya berbeda dari sekadar menyalin karena projek kebanyakan berbentuk visual. Nggak bisa tuh "kita semua bersahabat selamanya" macam lagu penutup Boboiboy. Lo sering dengar istilah SMK, STM solid? Syukur dapat yang begitu. Belum aja ditonjok kata talent war yang, buset, rivalitasnya bruh, keras.

"Klien lo klien lo, klien gue ya klien gue."

Gue secara pribadi rindu kekeluargaan SMP di mana nggak ada tabrakan bakat. Meski masih cilik-cilik, lingkungan gue lumayan sering membahas hal serandom, "Duluan Adam dan Hawa atau dinosaurus? Eh, gamma-ray dan black hole bisa dateng ke bumi nggak, ya? Apa kita bisa nikah sama alien?" Oke, kelihatannya gue gamon banget sama IPA, dan memang gue sempat bimbang selama kelas sembilan untuk terbang ke MIPA atau Multimedia, lalu jawabannya, hati yang menang. Karena dulu belum sadar fakta pahit lingkungan "seni" sebenarnya berbeda jauh dengan kelompok "eksakta". Tahu sendiri bidang eksak butuh diskusi, karyanya pun berbentuk teori dan hukum mutlak, bukan seni abstrak yang lahir dari tiap individu.
 
Meski sebetulnya di kelas sepuluh masih ada pelajaran fisika dan kimia, tapi cetek banget, serius! Oke, bisa jadi ada yang terbakar dengan pernyataan gue ini, tapi serius, IPA MM itu versi kutu di upil anak MIPA.
 
Terus terang, gue penggemar anime, animasi barat, atau kartun mana pun lah. Bahkan, baru lapor diri aja sempat kenalan sama cowok bawa tas bergantungan kunci lambang Scout Legion, hingga gue jadi ikut acara-acara konvensi anime bareng kawan sejurusan. Akan tetapi, selama tiga tahun ini gue merasa terkekang karena hanya "itu" yang dominan bisa jadi topik hiburan antar kami semua.
 
Gue bukan maksud bragging atau kurang bersyukur, tapi hobi gue yang sejak SD dan SMP terbiasa diisi membincangkan hal "random" bareng manusia satu frekuensi, di sini gue merasa terseret di lorong sepi. Saking stereotipe ke-Jepang-annya melekat, seolah kurang sudah kesempatan berkembang seluwes dulu. "Oh, dia bakal lanjut terus ngomongin J-Pop, nih. Gue pakein aja pengetahuan yang gue dapet dari K-Pop seputar entertaiment." Lah, hasilnya? Nggak selalu seperti yang skenario otak harapkan, dia malah ilfil duluan dengar gue masukin kata idol ke obrolan.

Bahkan, boleh jujur gue lebih punya relasi kuat ke orang-orang di luar jurusan. Bisa jadi istilah rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri itu nyata, atau memang faktor personal aja gue nggak bisa klop dengan isi jurusan sendiri.

Gue dapat pelajaran banyak dari pengalaman kurang klop ini. Gue akui walau pengetahuan mengenai bidang seni pun gue nggak bisa diremehkan, tapi yang terpenting itu attitude towards our relatives. Nyesel banget gue terlalu menggebu-gebu di bidang keilmuan dan teori sementara gue belum paham cara berteman, gue akui lagi, sifat ini terbawa dari lingkungan SMP. Bertemu teman yang bagaimana pun, jangan jadiin diri lo rusak dan malah memerosotkan semangat belajar. Masa lalu, sudahlah tinggalin dan jadiin kenangan aja. Soal masa depan nggak usah dimumetin, toh belum terjadi.
 
Nggak ada yang perlu ditakutkan masalah ilmu-ilmu untuk mengerjakan tugas. Asal ada kemauan diri untuk mencari tahu--mau di internet ataupun kawan-kawan, guru-guru di awal tahun ajaran selalu bantu hal-hal dasar. Fakta gilanya, jam belajar di kelas kebanyakan nggak diisi oleh guru. Kelas beneran kosong nggak ada pengajar, pintu ditutup, gorden ditarik, semua bebas nge-game, ng-anime, ngegambar, main poker, ngeband, dengan konsekuensi kalau lo cuma main-main mengisi ribuan jam kosong itu, deadline lo yang mampus.

Yap, yang gue maksud adalah nomor satukanlah tugas dahulu, yang lain belakangan meski godaan selalu melanda. That's it, mental pekerja yang diajarkan SMK. Karena SMK tuh, gila, otak gue berhasil terdoktrin secara nggak langsung untuk mengubah diri menjadi pekerja keras, dalam kategori "karyawan". Bukan jadi budak, ya. Dulu gue hanya paham "SMK praktik, SMA teori", udah gitu aja. Nggak sedetail praktik tuh ada partikel ini-ini, inspirasi itu-itu, jadwal kerja bla-bla. Lo serius mau cari duit? Masuk SMK ajalah, tapi tetap siapin mental, hehe.

Kalau lo terjun ke sini dengan kemauan sendiri, tanggung jawab, itu pilihan lo. Gue juga karena impian sendiri, tapi salah guenya juga yang "gatel belok-belok". Yakinin diri bahwa nggak akan ada yang bikin lo nengok ke belakang ketika tengah berjalan di lorongnya.
 
Selamat bergabung menjadi keluarga Multimedia dan selamat berjuang.Tatakae!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Akademis dan Karakter