Antara Akademis dan Karakter
Kita tak asing mendengar persoalan anak pintar susah bergaul dan anak gaul sulit berprestasi. Ada saatnya “Si Ambisius” merasa kendor melihat “Si Gaul” makin bersinar di pertemanannya. Ada kalanya pula “Si Gaul” menciut menatap kemilau piala dan medali “Si Ambisius”. Padahal mereka sama-sama murid, apa yang menjadi ketimpangan strata keduanya? Kenapa rasanya dua porsi ini seolah bagaikan air dan minyak dalam satu tubuh?
Sejak kecil, kita semua dibisikkan orang tua, “rajin-rajin ya, Nak, supaya cepat pandai” sekaligus “jadilah anak baik, supaya kamu dapat teman banyak.” Tanpa melebarkan mata bahwa kedua pedoman tersebut agaknya kontradiktif.
Kontradiksi antara keinginan melonjakkan akademis dan karakter ini bermula dari ketika pagi, siang, sore, dan malam pelajar dituntut untuk tunduk di depan buku demi merangkak naik ke puncak tertinggi, sedangkan dunia kerja justru menuntut kita membangun relasi dan keprofesionalan menempatkan diri. Simpelnya, kita diajarkan teorema-teorema matematika, sel-sel dalam tubuh makhluk hidup, menghafal hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat yang notabene mengerucut pada keilmuan teknis semata. Sementara di lingkup karir dan masyarakat yang lebih luas, kita dituntut memahami etika berperilaku, kelebihan diri, kekurangan diri, dan segala jenis sistematika sosial lainnya. Teramat jarang pelajar diberi kesempatan menggali karakter sendiri apabila bukan individu itu yang inisiatif mencari tahu.
Menurut Programme for International Student Assessment, Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara dalam performa pendidikan. Saat kita membahas tentang belajar, pastinya tak hanya menyangkut murid, tetapi juga guru. Dan sangat disayangkan, pada tahun 2020, rata-rata Ujian Kompetensi Guru Nasional adalah 53,02 dari 100.
Itu baru sekolah, bagaimana dengan keluarga? Mengutip laman situs Badan Pusat Statistik, “jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang.” Meski angka tersebut hanya 9,78 persen penduduk negeri, tetap tidak menutup ketidakseimbangan pendidikan karakter yang bisa disebabkan oleh buruknya bimbingan parenting, asupan gizi kurang mumpuni, dan masalah kemiskinan yang beranak-pinak lainnya. Terus terang, angka hanyalah angka, tak jarang pula ditemui kegagalan pendidikan karakter yang dialami remaja-remaja berekonomi mampu, gizi cukup, dan masa depan sesilau lampu sorot. Ini masih belum membicarakan lingkaran setan perceraian orang tua, belum juga abuse relationship yang berpengaruh pada kepribadian anak.
Sudah membicarakan faktor eksternal, tak adil jika belum mengorek penyebab internalnya. Sebuah studi ilmiah yang dilakukan di Case Western Reserve University di Ohio menemukan bahwa bagian otak yang mengatur fungsi empati dan analisis tidak dapat berfungsi bersamaan. “Fungsi kognitif kita berevolusi. Rasa empati dan analisis hingga batas tertentu bersifat eksklusif di otak,” jelas Anthony Jack, salah satu peneliti.
Hal ini menjelaskan mengapa Si Ambisius, orang yang terlahir cerdas biasanya kaku, dingin, cuek, serta sulit berkomunikasi. Sebab, hanya satu fungsi otak mereka yang bekerja. Sementara Si Gaul yang menggunakan jaringan empati biasanya lebih hangat, tetapi kerap didera masalah kecemasan. Cemas memikirkan kritik dan pandangan sekitar, cemas menggelisahkan drama-drama di luar kendalinya.
Membanding-bandingkan semua ini, sama halnya dengan stereotip paling memuakkan bagi telinga pelajar mengenai “jurusan MIPA jenius dan pemilik nilai selangit, sementara jurusan IPS badung dan tukang membuat onar.”
Beribu sayang, justru penyimpangan kepada narkotika, rokok, tawuran, mencontek, korupsi, perundungan, pergaulan bebas, sombong, dan saling menyikut dalam diam adalah jalur-jalur pelarian atas ketidakpahaman karakter masing-masing. Yang dipelajari di sekolah apa, yang alam liar minta ternyata lain pula. Paling parah, sekolah malah menelurkan juara umum yang berakhir menjadi calon pengangguran.
Statistika mungkin tidak mewakili seluruh guru dan keluarga. Banyak sosok-sosok pengajar yang menonjol dan berbekas karena karakternya. Namun kembali lagi, mereka bertugas mengajar bidang akademis bukan membentuk karakter murid. Bimbingan Konseling? Tentu berkontribusi, tetapi haruskah BK menjadi satu-satunya yang diberi beban membereskan moral jutaan peserta didik se-Nusantara?
Penanaman dan pembentukan karakter harus diawali oleh peran orang tua dalam mendidik di rumah, karena anak pun takkan tahu apa yang harus dilakukan jika belum dituntun. Karakter adalah hasil dari proses panjang, butuh waktu lama dan bertahap untuk membentuknya. Negeri ini tidak kekurangan orang pintar, tetapi orang bermoral. Negeri ini pun tidak akan maju bila yang diurus hanya baik-buruk, sementara bidang keilmuan malah ditinggalkan. Segalanya tentang keseimbangan, sesuatu dengan kata “terlalu” itu tidak baik. Selama proses pembelajaran mendahulukan “angka” dibanding mengenal jati diri, serta dengan keadaan sistem pendidikan, guru, dan keluarga yang seperti sekarang ini, jelas saja perkembangan akademis sekaligus karakter bangsa akan tetap berjalan di tempat.
Komentar
Posting Komentar