Kenapa Film Adaptasi Novel Kebanyakan Gagal?
Gue sempat berpikir, harusnya ada alasan
krusial kenapa banyak film yang diadaptasi dari novel berakhir hancur. Bukan tentang kartun yang malah dijadikan live action ya, justru itu bisa jadi bahasan berbeda lagi, apalagi unsur kartun berbeda dari novel.
Gue mendapatkan asumsi ini di tengah sibuk menulis fiksi sendiri. Logisnya,
imajinasi banyak orang pas baca berbeda-beda dan mustahil
divisualisaikan dalam satu akting dengan aktor yang sama. Film hakikatnya adalah media untuk menyaksikan apa yang
ada di layar dan berkomunikasi dengan penonton secara visual. Sementara
novel yang notabene huruf, disajikan dalam bahasa. Mengubah sebuah cerita
dalam bentuk tulisan menjadi tontonan berarti menghilangkan narasi
opini, komentar, dan analisis si karakter mengenai hal-hal di
sekitarnya. Menurut gue, ini pemicu utama banyak emosi yang hilang (di
luar persoalan memilih casting).
Karena media audio-visual
berfungsi memberi apa yang si penonton bisa lihat dan dengar secara kasat
mata juga dialog. Sesekali pasti ada monolog sih, tetapi nggak ada lagi
narasi sepanjang novel asli yang mempunyai emosi tersendiri.
“Memang aku lumayan canggung, pemalu, bahkan agak aneh. Meski begitu, sesuatu di dalam diriku memberi tahu bahwa aku berharga. Menjabat ketua kesehatan sekolah sudah menjadi jalanku, bukan lagi sebagai kewajiban, tapi kebahagiaan.”Aneh kan kalau protagonis bicara panjang mengenai hidupnya begini?
Everything become showing, sama sekali nggak ada telling opini. Padahal kita membutuhkan keduanya secara seimbang.
Solusi: everything is about point of view.
Sherlock Holmes berhasil karena pakai sudut pandang orang pertama pengamat, temannya, Watson. Watson adalah representasi penonton selama di bukunya. Perasaan ini akan sama dengan emosi sewaktu penonton mengamati tokoh utama beraksi. Apalagi jika cerita itu menggunakan sudut pandang orang ketiga pengamat, saat saja membaca sudah serasa penonton yang tak tahu segalanya. Opini gue, novel-novel begini bisa jadi pertimbangan adaptasi.
Sementara
andai novel kesukaan atau karangan kalian menggunakan sudut pandang pertama
tokoh utama atau orang ketiga serba tahu, maka ada kemungkinan hancur
untuk divisualisasikan secara gambar. Persis yang gue bilang di awal,
hilanglah semua koneksi kita saat membaca narasinya yang berupa curhat,
opini, komentar sewaktu di film.
Komentar
Posting Komentar